Kekuasaan Hakikatnya Adalah Amanah

Penulis 2024-12-27 15:11:21 - 2024-12-21

Harapan Hanya pada Kekuasaan Islam.

Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda:

أَوَّلُ الإِمَارَةِ مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وَثَالِثُهَا عَذَابٌ مِنَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِلا مَنْ رَحِمَ وَعَدَلَ
Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil (HR ath-Thabarani).

Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum.

Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan syariah Islam di tengah-tengah masyarakat. Sebabnya, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariah Islam. Karena itulah siapapun penguasanya, jika dia tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan syariah Islam, maka dia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 45 dan 47).

Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyatnya. Beliau bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya surga (HR al-Bukhari).

Di dalam Islam, agar pemangku kekuasaan bertindak amanah, ia wajib mengemban kekuasaannya di atas pondasi agama, yakni Islam. Inilah yang juga ditegaskan oleh Imam al-Ghazali rahimahulLâh:

الدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْأَمَانِ، وَلِهَذَا قِيْلَ: الدِّيْنُ أُسٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لاَ أُسَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ.
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Karena itu sering dikatakan: Agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap (Abu Hamid al-Ghazali, Al-­Iqtishâd fî al-­I’tiqâd, 1/78).

Kata Imam ar-Razi rahimahulLâh, berkat kekuasaan yang bersanding dengan agama (Islam), Allah SWT menghilangkan berbagai keburukan dunia dari manusia (Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 3/424).

Di dalam Islam kekuasaan harus diorientasikan untuk: (1) menegakkan Islam; (2) melayani berbagai kepentingan masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Kekuasaan semacam ini terwujud hanya dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam. Bukan dalam sistem pemerintahan yang anti syariah, baik sistem demokrasi ataupun yang lain.

Alhasil, mau tidak mau, jika bangsa ini ingin maju, sejahtera, adil dan makmur, maka yang mereka butuhkan bukan sekadar rezim atau penguasa baru. Akan tetapi, yang mereka butuhkan sekaligus adalah sistem pemerintahan baru, yakni sistem pemerintahan Islam. Sebabnya jelas, sejahtera, adil dan makmur hanya mungkin saat umat Islam mengamalkan dan menerapkan syariah Islam. Pengamalan dan penerapan syariah Islam secara kâffah tentu merupakan wujud ketakwaan hakiki. Ketakwaan hakiki inilah yang bakal mendatangkan aneka keberkahan, khususnya bagi negeri ini. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Quran:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu kami menyiksa mereka akibat perbuatan mereka (TQS al-A’raf [7]: 96).

Karena itulah Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki rahimahulLâh menegaskan:

فَلَوْ أَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ (الْيَوْمَ) عَمِلُوْا بِأَحْكَامِ الْفِقْهِ وَ الدِّيْنِ كَمَا كَانَ أَبَاءُهُمْ لَكَانُوْا أَرْقَ اْلأَمَمِ وَ أَسْعَدَ النَّاسِ
Andai kaum Muslim hari ini menerapkan hukum-hukum fiqih dan (syariah) agama ini, sebagaimana generasi pendahulu mereka (pada masa lalu), niscaya mereka menjadi umat yang paling maju dan paling bahagia (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Syarî’atulLâh al-Khâlidah, hlm. 7).

Pengamalan dan penerapan syariah Islam secara kâffah inilah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mendirikan Negara Islam untuk pertama kalinya di Madinah. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya dengan hanya menegakkan Khilafah Islam, yang juga hanya menerapkan syariah Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.