Penulis 2024-11-25 09:22:21 - 2024-11-23
Membangun Negara Tanpa Pajak
Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah kembali pada syariah Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam) yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Menurut Syaikh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya pemasukan dari: harta rampasan perang (anfâl, ghanîmah, fai dan khumûs); pungutan dari tanah kharaj; pungutan dari non-Muslim (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; zakat; dst (Syaikh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).
Dari penjelasan di atas, salah satu sumber terbesar dalam APBN Khilafah Islam adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umumini Rasulullah saw. bersabda:
Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (energi) (HR Abu Dawud).
Dalam hadis lainnya, sebagaimana penuturan Abyadh bin Hammal ra., disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat beliau berikan kepada Abyadh ra. Tindakan beliau ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para Sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (menyerupai “al-mâ‘u al-‘iddu” [air yang terus mengalir tanpa henti]) (HR Ibnu Majah).
Dari kedua hadist ini para ulama menyimpulkan bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang, yang depositnya melimpah, adalah milik umum. Harta milik umum ini wajib dikelola oleh Negara. Semua hasilnya lalu diberikan kepada seluruh rakyat, langsung ataupun tidak langsung. Harta milik umum ini haram diserahkan kepada individu/swasta apalagi dikuasai oleh pihak asing sebagaimana yang terjadi selama ini (Lihat: Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 48-66).
Menurut Ekonom Muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan Negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Minyak Mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.
Kedua: Gas Alam. Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.
Ketiga: Batubara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun.
Keempat: Emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun.
Kelima: Tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.
Keenam: Nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.
Ketujuh: Hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 120,26 juta hektar. Menurut perhitungan Prof. Dr. Ing. Amhar (2010), dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar dan untuk menjaga kelestariannya dengan siklus 20 tahun, maka hanya 5% dari tanaman yang dipanen setiap tahunnya. Jika dalam 1 hektar hutan, setidaknya terdapat 400 pohon, artinya hanya 20 pohon per hektar yang ditebang setiap tahunnya. Jika nilai pasar kayu dari pohon berusia 20 tahun adalah Rp 2 juta dan keuntungan bersihnya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan tersebut adalah 100 juta hektar x 20 pohon perhektar x Rp 1 juta perpohon = Rp 2.000 Triliun. Namun, dengan mempertimbangkan deforestasi dan illegal logging, ia memperkirakan bahwa Rp 1.000 triliun dapat diperoleh setiap tahunnya (Lihat: www.fahmiamhar.com/2010/04/mencoba-meramu-apbn-syariah.html).
Kedelapan: Kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75% merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri dan jasa maritim. Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$ 30 triliun pada 2030. Menurut perhitungan Dahuri (2018) sumber-sumber tersebut dapat menghasilkan pendapatan pertahun sebesar USD 1,33 triliun pertahun. Nilai itu setara dengan Rp 20.795 triliun dengan kurs 15.600/USD. Jika 10% dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan Negara maka potensi penerimaannya mencapai Rp 2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50%, maka laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp. 1.040 triliun.
Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN di atas, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum saja (batubara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp 3.000 triliun. Padahal masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Dengan itu tentu Negara tak perlu memungut pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Syaratnya satu: semua itu harus dikelola berdasarkan ketentuan syariah Islam (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.