Menjaga Akidah Umat

Penulis 2025-01-06 14:36:44 - 2025-01-04

Perayaan Natal adalah ibadah bagi umat Nasrani. Pada hari itu mereka mengagungkan kelahiran Tuhan mereka, Yesus Kristus. Bukan kelahiran Isa al-Masih sebagaimana yang dijelaskan al-Quran. Di dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2019 dinyatakan, “Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk ‘merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan (EF 2:14)’ yang memecah-belah umat manusia…”

Sebaliknya, seorang Muslim wajib mengimani bahwa Isa al-Masih adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Allah SWT berfirman:

Sungguh perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepada dirinya, “Jadilah”, maka jadilah ia (TQS Ali Imran [3]: 59).

Ucapan selamat pada Hari Raya Natal jelas bertentangan dengan akidah Islam. Allah SWT tidak mempunyai anak. Allah SWT pun tidak dilahirkan. Allah SWT juga sudah memperingatkan bahwa pernyataan Allah memiliki anak adalah kemungkaran yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Allah SWT berfirman (yang artinya): Mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” Sungguh kalian telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar. Karena ucapan itu langit nyaris pecah, bumi belah dan gunung-gunung runtuh karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak (TQS Maryam [19]: 90-92).

Dari sini harusnya bisa dipahami bahwa mengucapkan Selamat Hari Raya Natal, apalagi terlibat dalam perayaan Hari Natal, bertentangan dengan akidah dan peribadatan kaum Muslim. Allah SWT telah mengajarkan kepada Nabi saw. dan umat Muslim bahwa sekali-kali jangan mengikuti peribadatan mereka. Allah SWT berfirman:

Katakanlah, “Hai kaum kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” (TQS al-Kafirun [109]: 1-3).

Ada yang berdalih bahwa hanya sekadar ucapan tidak akan merusak keimanan seorang Muslim. Terhadap sikap seperti ini Nabi saw. telah mengingatkan:
Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang Allah ridhai, yang tidak begitu dia pedulikan. Namun, dengan ucapan itu Allah mengangkat dirinya beberapa derajat. Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang Allah murkai, yang tidak begitu dia pedulikan. Namun, dengan ucapan itu Allah melemparkan dirinya ke dalam neraka (HR al-Bukhari dan Muslim).

Adapun perayaan tahun baru Masehi pertama kali dirayakan oleh bangsa Romawi dengan menyiapkan berbagai persembahan untuk dewa-dewa mereka. Pada Abad Pertengahan di Eropa, pemimpin gereja Kristen mengikuti perayaan tahun baru pada 1 Januari.

Patut disayangkan jika hari ini banyak Muslim di berbagai penjuru dunia, termasuk di tanah air, ikut-ikutan merayakan peringatan tahun baru Masehi. Sebagian dari mereka ada yang karena keawamannya. Sebagian lagi karena sengaja tidak peduli dan mengabaikan hukum Allah SWT. Padahal Rasulullah saw. telah mengingatkan umat ini agar tidak menyerupai orang kafir. Sabda beliau:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk golongan mereka (HR Ahmad).

Apalagi perayaan tahun baru biasanya diisi dengan hura-hura, tidak jarang terjadi campur-baur pria-wanita, bahkan disertai minuman keras. Lebih memprihatinkan lagi, tidak jarang perayaan tahun baru diisi dengan perzinaan. Berbagai laporan dari sejumlah daerah menginformasikan bahwa penjualan kondom di toko-toko ritel, online bahkan lewat jasa ojol meningkat menjelang perayaan malam tahun baru.

Jagalah Akidah Umat

Perayaan Natal dan Tahun Baru juga kerap menjadi ajang kampanye paham pluralisme. Umat diajak untuk menerima paham semua agama adalah benar. Tidak ada dikotomi iman dan kafir. Beberapa kali muncul berita kaum Muslim ikut merayakan Natal di gereja dengan dalih kerukunan umat beragama dan kebhinekaan. Menurut mereka, itulah cara menciptakan kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Padahal pluralisme itu hakikatnya adalah mencampuradukkan iman dan kekufuran, haq dan batil. Pluralisme adalah paham yang telah difatwakan oleh MUI sebagai bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu setiap Muslim hendaknya meyakini bahwa tidak ada agama yang benar kecuali Islam. Allah SWT berfirman:

Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (TQS Ali Imran [3]: 19).

Sungguh memprihatinkan jika hari ini akidah umat begitu rapuh dan mudah dihancurkan oleh opini dan tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan keyakinan bahwa Allah itu Esa tidak memiliki anak dan tidak dilahirkan tidak ada yang menjaganya. Negara pun membiarkan pengaburan akidah ini terus berlangsung. Bahkan mereka menjadi sponsor pluralisme yang merongrong keimanan umat. Sementara itu, Muslim yang hendak istiqamah menjaga keimanan mereka sampai mati justru kerap dipersekusi dan dituding sebagai ancaman bagi kerukunan umat beragama.

Padahal Islam sudah punya aturan yang menata hubungan antar umat beragama dengan mulia. Agama ini sudah mengajarkan bahwa tidak boleh memaksa non-Muslim memeluk Islam. Islam pun telah mengajarkan bahwa wajib menolong siapa saja yang membutuhkan tanpa memandang agamanya. Sebaliknya, Islam mengharamkan tindakan mengganggu harta, kehormatan dan jiwa sesama manusia apapun keyakinannya. Namun, dalam perkara keimanan dan ibadah, setiap Muslim wajib berpegang pada keyakinannya. Ia harus yakin bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang Allah ridhai. Siapa saja yang mencari agama selain Islam akan merugi dunia-akhirat. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali Imran [3]: 85).

WalLâhu a’lam.