Toleransi Tanpa Merusak Aqidah Islam

Penulis 2024-11-18 09:09:06 - 2024-11-16

Kedatangan Paus disambut dengan gegap-gempita. Namun, penyambutan atas kedatangannya dinilai berlebihan dan menulai polemik di tengah kaum Muslim. Pasalnya, serangkaian prosesi penyambutan Paus yang dinarasikan sebagai misi perdamaian, kemanusiaan dan toleransi—telah kebablasan dan menabrak batas-batas Aqidah Islam.

Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.

Ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini.

1. Sinkretisme beragama.
Sinkretisme beragama bermakna mencampuradukkan ajaran agama-agama. Termasuk mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan ajaran agama-agama lain. Sinkrestisme beragama semacam ini jelas mencampuradukkan yang haq dan yang batil, yang nyata-nyata terlarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:
Janganlah kalian mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Jangan pula kalian menyembunyikan yang haq itu, sedangkan kalian mengetahui. (TQS Al-Baqarah [2]: 42)

2. Pluralisme agama.
Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Karena itu kebenaran setiap agama adalah relatif. Konsekuensinya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini: Pertama, aspek normatif. Secara normatif, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islam. Pluralisme bertentangan antara lain dengan firman Allah SWT berikut:
Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa saja yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sungguh Allah sangat cepat hisab-Nya. (TQS Ali Imran [3]: 19)

Dengan alasan itu, wajar jika pluralisme agama difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia dalam Munas VII MUI tahun 2005.

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tetapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok.

Ketiga, aspek inkonsistensi Gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar. Tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Dengan begitu mereka tidak melakukan misi kristenisasi kepada umat Islam.

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi Kapitalisme yang Kristen atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai membawa misi imperialisme.

3. Humanisme beragama.
Humanisme muncul pada era Renaissance di Eropa. Ketika itu banyak pemikir seperti Petrarch, Erasmus dan Pico della Mirandola mulai memusatkan perhatian pada kebangkitan budaya klasik Yunani dan Romawi. Mereka juga menggali potensi manusia di luar dogma agama yang dominan saat itu. Sejak kelahirannya, paham humanisme ini justru ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Caranya dengan menjadikan manusia pusat edar kehidupan, dengan mengabaikan Tuhan dan agama.

Paham humanisme bertentangan dengan firman Allah SWT:
Katakanlah, “Sungguh shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (TQS al-An’am [6]: 162)



Wallahu A'lam bi Ash-shawab.